Alangkah indahnya pertaubatan dalam kesadaran! Sebuah puncak pengakuan hamba akan makna kesalahan dan kekeliruan, kepada pihak yang berhak dan layak. Ia bukan ritual kosong yang lahir dari keterpaksaan, ketakutan, dan penyesalan palsu, yang bahkan seringkali lahir dari kekecewaan akan terlepasnya sebagian nikmat duniawi. Hingga, begitu peluang kesenangan terbentang, taubat menghilang dan kekeliruan itupun kembali terulang.
Taubat adalah kata sakti untuk berhenti dari dosa-dosa. Yang mestinya kuat mengandungi Niat mendekat erat kepada Sang Maha Melihat dalam pekatnya tumpukan maksiat dan kesadaran yang sering hanya sesaat. Karena itu, ia harus memenuhi sejumlah syarat, agar menjadi momentum transformasi diri menjadi pribadi baru yang diridhai. Taubat adalah keinginan membersihkan diri dari keruhnya ketidaktaatan yang membuat jarak hari dengan San Rabbi semakin menjauh, bahkan putus.
Awalnya adalah penyesalan. Bahwa tidak ada yang kuasa menyelamatkan selain Allah saja, itu bermakna kepasrahan yang utuh kepada-Nya. Berjalan di atas jalan lurus lempang tanpa bimbang, seraya menjaga diri dari setiap persimpangan yang menghadang. Shiratul Mustaqim hanya satu, dan tidak ada yang lain.
Jalan-jalan yang lain, meski berbilang dalam jumlah dan para penempuhnya, juga tampak cemerlang karena ramai peminatnya, sejatinya hanyalah fatamorgana.
Menyesal sebab nafsu sering tertipu. Mencoba mencicipi maksiat yang terlihat lezat, meski kemudian membawa kesunyian dan ketakutan, rasa bersalah dan penyesalan. Kebusukan yang tersingkap oleh ilmu dan kebersihan kalbu merinta dalam ketidaknyamanan luka. Ia serupa perburuan semu perampok waktu yang menghambar dalam kesia-siaan tanpa makna, tanpa nilai, tanpa janji keselamatan. ALangkah jeleknya!
Berikutnya adalah pelepasan. Yaitu, dengan segenap keikhlasan membuang semua yang menyimpang, seraya berjanji untuk tidak mengundangnya kembali agar taubat ini sempurna. Sebab, apa artinya taubat jika jiwa tetap menetapi maksiat?
Lalu, kita merendah di hadapan-Nya mengaku kalah. Bahwa tidak ada yang salah dengan takdir-Nya, hingga seluruh keburukan hakikatnya kembali kepada diri kita sendiri. Ia bukan ternisbah kepada setan meski begitu pintar dia merayu dan menipu. Meski begitu pandai dia menghias kesesatan dan menjanjikan kenikmatan. Begitu berpengalaman dalam seluruh rangkaian penyesatan.
Kitalah yang lemah melawan sebab nafsu yang membelenggu dan terlalu sering meminta pelampiasan, hingga jauh menjangkau keikhlasan. Kita juga terlalu bodoh, hingga sering gagal menangkap isyarat kalbu, karena semu tampak samar dan menipu.
Maka, dalam keridakberdayaan dan kelemahan ini, kita memohon kekuatan agar mampu tegar berjalan di atas jalan-Nya yang lurus, dengan tulus. Sebab hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan. Ya Allah, bimbing kami menuju kelurusan jalan-Mu!
Baca juga: Keutamaan Iman dan Amal Shaleh
ar-risalah No.100/Vol.IX/4 Syawal - Dzulqo'dah 1430 H / Oktober 2009
Sumber: Majelis Ilmu JKD
Taubat adalah kata sakti untuk berhenti dari dosa-dosa. Yang mestinya kuat mengandungi Niat mendekat erat kepada Sang Maha Melihat dalam pekatnya tumpukan maksiat dan kesadaran yang sering hanya sesaat. Karena itu, ia harus memenuhi sejumlah syarat, agar menjadi momentum transformasi diri menjadi pribadi baru yang diridhai. Taubat adalah keinginan membersihkan diri dari keruhnya ketidaktaatan yang membuat jarak hari dengan San Rabbi semakin menjauh, bahkan putus.
Awalnya adalah penyesalan. Bahwa tidak ada yang kuasa menyelamatkan selain Allah saja, itu bermakna kepasrahan yang utuh kepada-Nya. Berjalan di atas jalan lurus lempang tanpa bimbang, seraya menjaga diri dari setiap persimpangan yang menghadang. Shiratul Mustaqim hanya satu, dan tidak ada yang lain.
Jalan-jalan yang lain, meski berbilang dalam jumlah dan para penempuhnya, juga tampak cemerlang karena ramai peminatnya, sejatinya hanyalah fatamorgana.
Menyesal sebab nafsu sering tertipu. Mencoba mencicipi maksiat yang terlihat lezat, meski kemudian membawa kesunyian dan ketakutan, rasa bersalah dan penyesalan. Kebusukan yang tersingkap oleh ilmu dan kebersihan kalbu merinta dalam ketidaknyamanan luka. Ia serupa perburuan semu perampok waktu yang menghambar dalam kesia-siaan tanpa makna, tanpa nilai, tanpa janji keselamatan. ALangkah jeleknya!
Berikutnya adalah pelepasan. Yaitu, dengan segenap keikhlasan membuang semua yang menyimpang, seraya berjanji untuk tidak mengundangnya kembali agar taubat ini sempurna. Sebab, apa artinya taubat jika jiwa tetap menetapi maksiat?
Lalu, kita merendah di hadapan-Nya mengaku kalah. Bahwa tidak ada yang salah dengan takdir-Nya, hingga seluruh keburukan hakikatnya kembali kepada diri kita sendiri. Ia bukan ternisbah kepada setan meski begitu pintar dia merayu dan menipu. Meski begitu pandai dia menghias kesesatan dan menjanjikan kenikmatan. Begitu berpengalaman dalam seluruh rangkaian penyesatan.
Kitalah yang lemah melawan sebab nafsu yang membelenggu dan terlalu sering meminta pelampiasan, hingga jauh menjangkau keikhlasan. Kita juga terlalu bodoh, hingga sering gagal menangkap isyarat kalbu, karena semu tampak samar dan menipu.
Maka, dalam keridakberdayaan dan kelemahan ini, kita memohon kekuatan agar mampu tegar berjalan di atas jalan-Nya yang lurus, dengan tulus. Sebab hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan. Ya Allah, bimbing kami menuju kelurusan jalan-Mu!
Baca juga: Keutamaan Iman dan Amal Shaleh
ar-risalah No.100/Vol.IX/4 Syawal - Dzulqo'dah 1430 H / Oktober 2009
Sumber: Majelis Ilmu JKD
Comments
Post a Comment